Kamis, 16 Juni 2016

HAKEKAT MANUSIA MENURUT SOREN AABYE KIERKEGARD

HAKEKAT MANUSIA
MENURUT SOREN AABYE KIERGAARD
(1813 – 1855)



Sejarah Singkat Kierkegaard

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke 19 yang berasal dari Denmark. Hidup singkat Kierkegaard dimulai dan diakhiri di Danish city of Copenhagen. Lahir di Kopenhagen tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal di kota yang sama pada tanggal 11  November 1855 pada usia 42 tahun. Kierkegaard adalah sosok pribadi yang kadang agak aneh, kadang-kadang sinis dan kadang-kadang pemikir religius yang sangat mendalam.

Ia dibesarkan di sebuah keluarga Kristen yang didominasi oleh ayah-seorang kaya tapi melankolis-yang tersiksa oleh perasaan bersalah.  Ia mengikuti keinginan ayahnya dan masuk ke Universitas Kopenhagen tahun 1830 untuk belajar teologi, namun sikap memberontak terhadap pendidikan di keluarganya telah mengalihkannya dari pengajaran yang serius terhadap rencana awal. Sikap Kierkegaard yang tak memiliki motivasi untuk belajar teologi, digantikan dengan minat besar pada sastra dan filsafat dan sangat antusias pada kehidupan sosial yang liberal dari teman-teman intelektualnya.

Selama beberapa tahun, Kierkegaard hidup tanpa tujuan yang jelas kecuali untuk menolak masa lalu. Rekonsiliasi dengan ayahnya dan sebuah orientasi yang baru, tejadi di tahun 1833 dengan apa yang dipandang Kierkegaard sendiri sebagai konversi religius. Ditahun 1840, ia mendapatkan gelar dibidang teologi dari Universitas dan kemudian bertunangan dengan Regina Oselen.

Hidup Kierkegaard tampak stabil. Tetapi setelah setahun, ia membatalkan pertunangannya. Alasan pembatalan ini tidak jelas, tetapi satu faktor utama adalah keyakinan Kierkegaard bahwa ia memiliki tugas agama yang harus dipenuhi dan pernikahan tidak sesuai dengan tugas itu. Ia memutuskan hidup tanpa menikah dan hidup demi gereja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia banyak belajar filsafat, kesusastraan dan buku-buku lainnya. Karya filsafat Jerman yang banyak dibacanya adalah filsafat Hegel.

Antara tahun 1843 hingga 1846, Kierkegaard banyak menulis buku dan esai, tetapi buku-buku itu terdiri dari dua jenis yang secara fundamental sangat berbeda. Di satu sisi, ada serangkaian tulisan-tulisan dengan nama samaran (misalnya, Either/Or (1843), Fear and Trembling (1843), Philoshohycal Fragments (1844), dan Concluding Unscientific  Postcript (1846). Kierkegard memiliki nama bagi teknik dari tulisan-tulisannya yang memakai nama samaran: komunikasi tidaak langsung (indirect communication).


Eksistensi Manusia Sebagai Individu

Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi, harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada”  yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Apa yang semula berada sebagai kemungkinan  berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan. Perpindahan atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang harus dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri. menurut Kierkegaard, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat, dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh kehendak bebas dan afeksi (emosi).

Kierkegaard berpendapat, subyektivitas merupakan kebenaran pertama, hal mana menjadi dasar bagi eksistensi pribadi. Bahkan, menjadi subyektif adalah tugas bagi setiap manusia. Kierkegaard membela pengalaman subyektif terhadap totalisasi dan obyektivisasi sistem Hegelian. Kierkegaard juga menolak segala bentuk ilmu tentang manusia, jika ilmu-ilmu itu justru mengorbankan individualitas dan keunikan manusia yang dikajinya.

Dalam kaitan agama, Kierkegaard beranggapan, kepercayaan pada Tuhan akan selalu melibatkan pilihan individual, suatu ”loncatan iman” individual. Apa yang dilibatkan dalam kehidupan iman tidak dapat disangkal, atau dalam hal ini divalidasi, oleh logika konvensional atau sintesis rasional. Dengan demikian, Kierkegaard praktis menolak pandangan Hegel. Jika filsafat agama secara tradisional berusaha mendamaikan iman dan nalar (rasio), Kierkegaard justru mengambil langkah yang bertentangan dan menegaskan ketidakcocokan antara keduanya. Yakni, ada diskontinuitas mutlak antara yang manusiawi dan yang ilahiah.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka jelas bahwa bereksietensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka barangsiapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Itulah pemikiran Kierkegaard, bahwa ada eksistensi yang sebenarnya dan ada eksistensi yang tidak sebenarnya. Tiap eksistensi memiliki cirinya khas. Kierkegaard membedakan adanya tiga bentuk eksistensi, yaitu: bentuk estetis, bentuk etis dan bentuk religius.

a.     Bentuk Estetis
Tahap etis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh nalusi seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonisme, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood).  Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepetingan pribadinya.

Manusia estetis merupakan manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauannya adalah yang mengikat diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara seksama. Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun, selain keinginan untuk sekadar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidupnya dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya.

Manusia estetis adalah manusia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua: bunuh diri (atau, bisa juga lagi dalam kegilaan) atau masuk kedalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.

b.     Bentuk Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubahpola hiudp yang semula estetis menjadi etis. Ada semacap “pertobatan”, dimana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam kaitannya, dengan perkawinan, manusia etis sudah bisa menerimanya. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.

Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk dan akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Manusia etis akan sanggup menolak tirani atau kekuasaan dari luar, baik yang bersifat represif maupun non-represif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras.

c.     Bentuk Religius
Keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Seandainya kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan daya tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau perimbangan rasional dan ilmiah disini. Yang diperlukan hanyalah keyakinan subyektif yang berdasarkan iman. Nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diteruma akal sehat.

Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Kessulitan atau hambatan yang pertama-tama dijumpai oleh individu saat memutuskan untuk lebur dalam kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintah-perintahNya) adalah sesuatu yang paradoks. Persoalan tentang ada atau tidak adanya Tuhan, dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan merupakan salah satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan. Tidak mungkin ada penjelasan rasional unutk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman saja individu bisa menerima paradoks itu.

Tangtangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang mencekam dan menggetarkan (Angst). Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.


Sumber:

http://www.kompasiana.com/amelasasih.prianggi/manusia-menurut-tokoh-kierkegaard-monggo-dibaca_55301b346ea83446288b45f

http://kadosorehari.blogspot.co.id/2014/03/riwayat-hidup-soren-kierkegaard-filsuf.html


Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar